Dahulu (kurang lebih 13 th yang lalu) terjadi suatu sejarah yang tak akan pernah dilupakan oleh Bapak K.H.M Thohir, S.Pd seseorang yang merupakan alumni ponpes “Yanbuul Ulum” Lumpur, Losari, Brebes (1985) dan IKIP Veteran Semarang (2005) yang terkesan berpenampilan Nyentrik, beliau adalah kepala sekolah MTsS Simbang Kulon II Putri sejak tahun 1996 yang lahir di pekalongan pada tanggal 08 januari 1962. Pengalaman dan perjuangan saat mondok mengantarkan beliau menjadi seorang Kyai di Pondok yang beliau dirikan sekarang.
Pada tahun yang lalu (kurang lebih 12 tahun yang lalu) ini bukanlah Ponpes, melainkan rumah biasa yang sangat sederhana berhadapan langsung dengan kebun. Pada suatu hari datang seorang bapak yang bekerja sebagai TNI mengantarkan anaknya untuk mondok sebut saja Eva (14 th), tetapi Beliau tidak menerimanya karena melihat suasana rumah yang tidak layak disebut Pondok. ” Kalau anak panjenengan mondok disini, anak panjenengan mau tidur dimana. Sedangkan, rumah saya sangat kecil dan saya orang yang bodoh” Ujar Beliau (2005). Beliau pun memberi saran agar mbak Eva dipondokkan dan disekolahkan di Simbang Kulon saja. Beberapa hari dicoba , Mbak Eva tatap tidak cocok. Akhirnya, dia kembali menemui Beliau lagi sambil membawa alat dan bahan matreal untuk membangun kamar agar dia bisa tidur dan mondok disini. Sering berjalannya waktu Beliau mendapat panggilan untuk menunaikan Ibadah Haji. setelah menunaikan Ibadah Haji, Beliau mulai mengumpulkan uang untuk membangun sekolah ini.
Sekolah dan Pondok Pesantren yang pertama didirikan ini Sering dikenal dan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat sekitar. Banyak dari mereka minat untuk menyekolahkan dan memondokkan anak-anaknya disini.
Dan inilah kehidupan, berliku-liku setelah susah senang setelah senang susah. Setelah beberapa tahun Pondok dan Sekolah ini berdiri, mulai berdatangan satu per satu konflik menghampiri, mulai dari konflik masyarakat , sekolah, sampai keluarga. Mulai dari yang kecil hingga yang besar. Salah satunya adalah konflik sekolah bercampur keluarga, konflik ini termasuk konflik besar. Beliaupun mengikhlaskannya dan memohon berkah dari Guru guru beliau. Disampiakan bahwa Kayu Gaharu itu tidak akan tercium baunya kecuali dengan Dibakar terlebih dahulu. Berkat kesabaran dan ketabahan do’a dari Guru guru beliau serta dorongan dari masyarakat akhirnya beliau merintis dan membangun kembali dengan nama Pondok Pesantren Thibbil Qulub Assimbani”.
Kesedihan beralih menjadi kebahagiaan siswa – siswi yang sekolah ataupun mondok di “Thibbil Qulub Assimbani” banyak yang berprestasi dan membanggakan sekolah sekaligus pondok, dan anak-anaknya sangat ramah dan humoris.
Kebahagiaanpun berubah nasib makin tahun siswa-siswi yang masuk makin nakal. “Banyak sekali perbedaan suasana dan keadaan pondok pesantren yang dulu dengan sekarang. Keadaan yang dulu sangat tidak mengenakkan tetapi suasananya sangat menyenangkan. Dulu keadaan terganggu dengan asap pabrik dan sikap tidak acuh tak acuh masyarakat tetapi suasanannya menyenangkan, tertib dan sangat humoris” kata salah satu santriwati yang bernama Dewi Shinta (03/18). “Terkadang hal – hal Jahil yang lucu terjadi saat mengambil makanan, banyak yang mengambil lauk dahulu lalu di tumpuk nasi, kemudian mengambil lauk lagi.” ujar Marzuqoh (16th) 27 Maret 2018.
Karya “Nava Zavira Salsabila”
Editor : Rifqi Abdillah
Source : Ponpes Thibbil Qulub Assimbani (ppthibbilqulubassimbani.blogspot.com)
Tinggalkan Balasan